Sunday 18 October 2015

Foto alay anak indonesia




 ini foto alay dari sahabat saya,,,, hehehe begitulah dy, inilah alay edisi hari Minggu 18 Oktober 2015, , terinpirasi dari foto tentang kabut asap yang ada di riau yang lagi hits, dan jg karena kota Sorong Papua Barat jg terkena kabut asap akibat pembakaran hutan dengan tujuan pembangunan itu,  akhirnya dia jg ikut-ikutan foto dengan kata" yang dibuat sama kakanya itu, hehe
namanya Muhammad Arfan Rasyid, jurusan manajemen di Universitas Muhammadiyah Sorong, status : JOMBLO,,, #savejomblo ^_^






Tuesday 13 October 2015

Makalah Bangsa Arab Pra-Islam




BANGSA ARAB PRA-ISLAM

Sejarah Peradaban Islam

   
DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1

~    NIRGAHAYU               (90400114088)
 ~       ROSDIANA                   (90400114090)
 ~    SULASTRI                     (90400114093)
    ~    KURNIA                        (90400114132)   






FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2015
 





BAB I
PEMBAHASAN
A.      Asal Usul Bangsa Arab
Secara Etimologis kata Arab berasal dari kata ‘Araba artinya yang berani bergoyang atau mudah berguncang. Bangsa Arab maupun Israel termasuk dalam rumpun bangsa Semit atau Samyah. Nabi Ibrahim dianggap sebagai cikal bakal dari rumpun bangsa itu yang diduga berasal dari Babilonia.
Secara fisik bangsa Arab tidak menunjukkan bentuk yang tunggal, karena terdapat variasi yang berkaitan dengan lokasi. Di Arab Utara fisik mereka mirip dengan orang Eropa, yang memiliki rambut agak kemerah-merahan, agak bergelombang, dan warna kulit agak cerah. Di Arab Tengah fisik mereka agak tambun, warna kulit cerah, rambut bergelombang dengan warna hitam. Sedangkan Arab Selatan memilki bentuk hidung mancung dan melengkung, bagai patuk burung elang. Bentuk pipi menonjol, mata tajam agak terlindung tulang dahi. Rambut hitam dan bergelombang dengan warna kulit agak kelam. [1]Perkembangan bangsa Arab terbagi kepada tiga kelompok besar, yaitu: 
1.      Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit. Seperti Ad, Tsamud, Thasn, Judais, Amlaq dan lain-lainnya.
2.      Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya’rub bin Yasyjub bin Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.
3.       Arab Musta’ribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma’il, yang disebut pula Arab Adnaniyah.[2]
Kehidupan orang-orang Arab sebelum Islam sering disebut dengan kehidupan Jahiliyah. Akan tetapi, jahiliyah dalam pengertian suatu tata kehidupan yang terlepas dari nilai-nilai ajaran Agama, walaupun masyarakatnya menganut agama.
B.       Bangsa Arab Pra-Islam
1.    Segi Kepercayaan (agama)
Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab telah menganut agama yang mengakui Allah sebagai Tuhan mereka. Kepercayaan ini diwarisi secara turun- temurun sejak Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Isma’il a.s.. Al-Qur’an menyebutnya dengan agama yang hanif, yaitu suatu kepercayaan yang mengakui keesaan Allah sebagai pencipta alam semesta; yang  menghidupkan dan yang mematikannya; serta memberi rezeki dan lain sebagainya.
Kepercayaan kepada Allah tersebut tetap diyakini oleh bangsa Arab hingga kerasulan Nabi Muhammad s.a.w.. Hanya saja keyakinan tersebut dicampuradukkan dengan takhayul, khurafat dan kemusyrikan; menyamakan Tuhan dengan jin, roh, hantu, bulan bintang, matahari, berhala, pohon dan lain sebagainya.
Kepercayaan yang menyimpang dari agama hanif itu disebut dengan Watsaniyah. Artinya, agama yang mempersyerikatkan Allah dengan mengadakan sesembahan     kepada:
1.      Anshab, yaitu batu yang belum memiliki bentuk.
2.      Autsan, yaitu patung yang terbuat dari batu.
3.      Ashnam, yaitu patung yang terbuat dari kayu, emas, perak, logam dan semua patung yang tidak terbuat dari batu.
Penyimpangan itu terjadi perlahan-lahan. Mereka menyatakan berhala-berhala itu sebagai perantara terhadap Tuhannya. Sedangkan Allah tetap diyakini sebagai Yang Maha Agung. Akan tetapi, antara Tuhan dengan makhluk-Nya dirasakan ada jarak yang mengantarainya. Berhala-berhala itu perlambang malaikat dan putera-puteri Tuhan. Berhala-berhala juga merupakan kiblat atau penentu arah dalam penyembahan dan peribadatan. Berhala itu tempat bersemayamnya roh nenek-moyang mereka yang harus dihormati dan dipuja.
Demikian juga di antara mereka ada yang mempertuhankan binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai anasir yang memberi pengaruh terhadap alam semesta dan kehidupan manusia.
Akan tetapi sampai sekarang ini belum dapat diketahui dengan pasti bilakah bangsa Arab itu mulai menyembah Anshab, yang merupakan awal dari penyimpangan terhadap agama yag hanif itu. Namun, penyembahan terhadap Autsan, ada riwayat yang menyatakannya mulai dilakukan semenjak abad pertama Sebelum Masehi, dan berlanjut dengan penyembahan terhadap Ashnam yang mulai dilakukan pada akhir abad kedua Masehi.
Pada masa itu, Umar bin Lu’ai mengadakan perjalanan dari Mekah ke Siria. Di Balka – yang pada saat itu sudah berdiri Kerajaan Amaliqah – ia mendapati penduduk negeri tersebut sudah menyembah berhala, sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya. Setelah bertanya apa yang disembah itu, ia memperoleh jawaban, bahwa yang disembah penduduk negeri itu adalah berhala yang memberi tuah, mampu mencurahkan hujan dan dapat memberi pertolongan. Ia meminta pada penduduk negeri itu, agar diberikan pula padanya sebuah berhala yang akan dibawanya pulang. Mereka memberikan kepadanya sebuah patung yang bernama Hubal; dan sesampainya di Mekah, ia pun menyuruh bangsanya agar menyembah patung itu.
Hubal adalah berhala yang terbesar yang diletakkan di dalam Ka’bah, terbuat dari batu akik merah dan berbentuk seperti manusia. Semula tangan patung itu buntung, tetapi akhirnya diberi tangan emas oleh bangsa Quraisy.
Selain Hubal, banyak berhala yang diletakkan di sekitar Ka’bah. Adapun nama-nama berhala itu diberikan berkaitan dengan tujuan penyembahan. Di antara nama-nama berhala yang tersebut di dalam al-Qur’an ialah:
1.      Manata, yang berarti Yang Maha Kuasa. Nama ini ada juga tercantum dalam Kitab Talmud. Patung Manata ini disembah oleh Kabilah Hudzail dan Khuza’ah. mereka tempatkan di Musyallal ditepi laut merah dekat Qudaid.
2.      Lata, yang merupakan perlambang dari matahari. mereka tempatkan di Tha’if.
3.      Uzza, merupakan perlambang bunga. mereka tempatkan di Wady Nakhlah
Ketiga berhala tersebut, dipuja dan diagungkan juga oleh bangsa Quraisy terutama di saat mereka melakukan thawaf. Kepada mereka itulah, bangsa Quraisy mengharapkan syafaat dan pembelaan.
Di samping ketiga patung yang terkenal itu, dikenal pula: Waddan, sebagai lambang kasih-sayang; Suwa’an, sebagai lambang kekerasan; Yaghutsan, sebagai lambang kesulitasn; dan Nasran, sebagai lambang kekuatan dan kecepatan.
Setiap kabilah/keluarga, mereka memiliki berhala kesayangan yang disimpan dalam rumah/tempat kediaman mereka, dan akan disembah pada waktu-waktu tertentu. Pemujaan itu dilakukan dengan mempersembahkan hewan kurban dan makanan di hadapan berhala, sebagai tumbal dari suatu nadzar atau permohonan yang terkabul. Darah hewan sembelihan, disapukan pada berhala sebagai tempat bernadzar. Begitu juga meramal  nasib, dilakukan di hadapan berhala dengan menggunakan alat undian yang disebut azlam.
Pada umumnya, kabilah-kabilah Arab mempunyai Ashnam dan Autsan favorit yang dipujanya. Di samping itu, ada juga kabilah yang menyembah matahari seperti Kabilah Himyar dan Keturunan Balkis. Kabilah Thai menyembah bintang Tsurayah; Kabilah Tamim menyembah Durban; Kabilah Khuza’ah dan Quraisy menyembah bintang Syura dan Abur; dan Kabilah Rabi’ah menyembah bulan dan begitu seterusnya.
Akan tetapi, tidak semua orang Arab Jahiliyah penyembah Watsaniyah, karena ada beberapa kabilah yang menganut agama Yahudi dan Masehi. Agama Yahudi dianut oleh bangsa Yahudi, yang juga masih termasuk rumpun Semit.
Agama Yahudi sampai di Jazirah Arab dibawa oleh Bangsa Israil dari negeri Asyuria. Mereka datang ke situ, karena diusir oleh raja Rumawi yang beragama Masehi. Pengusiran itu berlangsung terus-menerus, sehingga mereka berangsur-angsur mengungsi ke Yatsrib dan sekitarnya. Pada abad kelima Masehi, kelompok ini telah tersebar di sebelah utara Jazirah Arab, seperti Taima, Khaibar, Yatsrib dan Wadil-Quda. Kemudian meluas ke bahagian selatan Yaman dan Najran. Penyebaran mereka di Jazirah Arab terutama melalui jalur perdagangan.
Jatuhnya Himyariyah ke bawah kekuasaan Nasrani, merupakan kelemahan mereka untuk menghadapi Persi dan Rumawi. Di samping itu, mereka terkenal sebagai bangsa yang cerdas dan licik, maka dengan kemampuan yang mereka miliki itu ajaran-ajarannya disiarkan juga kepada beberapa kabilah Arab. Ajaran-ajaran mereka itu diterima dengan baik, sebab ajaran-ajarannya sejalan dengan pemikiran keagamaan bagsa Arab yang memang berakar pada ajaran Nabi Ibrahim a.s..
Al-Masih (Nabi Isa a.s.) dibangkitkan untuk menyeru Bani Israil untuk menyembah Allah; agar berbudi luhur; menyayangi si lemah; zuhud dari kehidupan dunia dan memperbanyak amalan ukhrawiyah. Ajaran-ajaran al-Masih disiarkan oleh sahabat-sahabatnya. Sabda al-Masih dan ceritera kehidupannya dihimpun dalam Kitab Injil.
Semenjak abad pertama Masehi, bangsa Arab telah berhubungan dengan pemeluk agama Masehi, yaitu sewaktu mengadakan perdagangan ke wilayah Rumawi dan Habsyi. Agama ini berkembang di kalangan bangsa Arab pada abad keenam Masehi. Ada beberapa kabilah yang memeluknya, seperti Kabilah Taghlib, Ghasasinah dan Khudla’ah di sebelah utara, dan Yaman di sebelah selatan.
Pada masa itu, agama Masehi terpecah menjadi beberapa sekte, seperti Nasturiyah yang tersiar di Hirah; Ya’qubiyah di Ghasasinah dan Siria. Kota yang menjadi pusat penyiaran agama ini adalah Najran. Kota ini dikelilingi oleh wilayah pertanian yang subur.
Meskipun menjelang kenabian Muhammad s.a.w. kehidupan keagamaan beraneka-ragam, namun ada juga kelompok masyarakat yang terbebas dari pengaruh Watsaniyah, Yahudi dan Masehi. Kelompok ini tetap berpegang pada agama hanif, yang menyeru agar mengesakan Allah dan melepaskan diri dari pengaruh adat jahiliyah, seperti membunuh bayi wanita, meminum khamar dan bermain judi.
Mereka yakin akan dekatnya masa kebangkitan seorang rasul yang akan membawa ke jalan yang benar, dengan melaksanakan kebajikan dan menghentikan kemungkaran. Di antaranya ialah Umayah bin Abi Salat (seorang penyair); Waraqah bin Naufal (seorang yang memiliki Kitab Injil); dan Qais bin Saudah al-Abadi (seorang yang arif bijaksana, ahli pidato dan hakim).
Ketiga orang itu melaksanakan ajarannya masing-masing dengan ajeg dan patuh, walaupun masih berbaur dengan pemujaan terhadap berhala.  Ka’bah, sebagai rumah ibadah tetap dimuliakan; dan kota Mekah tetap dianggap sebagai Kota Suci dan Pusat Peribadatan. Setiap tahun mereka mengadakan Ziyarah dan mengerjakan ibadah haji. Di tengah-tengah pelaksanaan ibadah, mereka tetap mengadakan penyimpangan, seperti tawaf mengelilingi Ka’bah tanpa busana dan lain sebagainya.[3]

2.    Sosial Budaya Arab
Sistem sosial masyarakat Arab mengikuti garis bapak (patrilinial) dalam memperhitungkan keturunan, sehingga setiap nama anak dibelakangnya selalu disebutkan nama bapak. Bahkan secara beruntun nama bapak-bapak mereka dicantumkan  dibelakang nama mereka dan dikaitkan dengan status dalam keluarga , yaitu bin yang berasal dari kata ibnu yang berarti anak laki-laki. Bagi anak perempuan  tentu saja disebut binti, yang berarti anak perempuan. Orang-orang Arab sangat bangga dengan rentetan nama-nama dibelakang  nama mereka. Dalam sebuah kabilah atau suku bangsa mereka terikat oleh bapak moyang mereka yang sangat dihormati. Sekelompok orang yang berada dalam satu garis keturunan dengan moyang yang sama biasa disebut sebagai satu keluarga besar dengan sebutan Bani (anak keturunan), keluarga atau dinasti tertentu. Dalam sistem masyarakat Arab yang sederhana sebuah kabilah dikepalai seorang ternama sebagai seorang patriarkh atau seoarang bapak utama atau perimus interpares, dengan julukan syekh.
Masyarakat Arab sebelum Islam adalah masyarakat feodal dan sudah mengenal sistem perbudakan. Sistem kekerabatanya adalah sistemik partilinial (Patriarchat-agnatic) yaitu hubungan kekerabatan yang berdasarkan garis keturunan bapak. Wanita kurang mendapat tempat yang layak dalam masyarakat. Bahkan tidak jarang apabila mereka melahirkan anak perempuan, mereka merasa malu dan hina, kemudian mereka kuburkan hidup-hidup, seperti yang dinyatakan dalam ayat Al-qur'an surat An-Nahl Ayat 58-59: artinya: dan apabila salah seorang diantara mereka dikabarkan dengan kelahiran anak perempuan, lalu merah pada mukanya, sedang ia berduka cita. Ia menyembunyikan diri dari kaumnya, karena kejelekan berita tersebut, apakah anak perempuan tersebut terus dipelihara dengan menanggung hina atau dikubur hidup-hidup ke dalam tanah. Ketahuilah amat kejam hukuman yang mereka lakukan. Dengan demikian, akhlak masyarakat telah merosot sekali, sehingga sering berlaku hukum rimba yakni siapa yang perkasa ialah yang berkuasa, siapa yang bodoh diperas oleh yang pandai, siapa yang miskin dihisap oleh yang kaya. Masa inilah yang disebut dengan masa Jahiliyah.
Jahiliyah (bahasa Arabجاهلية, jahiliyyah) adalah konsep dalam agama Islam yang berarti "ketidaktahuan akan petunjuk ilahi" atau "kondisi ketidaktahuan akan petunjuk dari Tuhan" atau masa kebodohan (Qutb, Sayyid (1981). Milestones. The Mother Mosque Foundation. p.11, 19) keadaan tersebut merujuk pada situasi bangsa Arab sendiri, yaitu pada masa masyarakat Arab pra Islam sebelum diturunkannya al-Qur'an. Pengertian khusus kata Jahiliyah ialah keadaan seseorang yang tidak memperoleh bimbingan dari Islam dan al-Qur'an.
Adat-adat buruk bangsa Arab pada zaman jahiliah yaitu :
a.         Al-qimar (judi), atau yang lazim dikenal dengan istilah “al-maysir. Merupakan kebiasaan penduduk kota-kota di kawasan jazirah, seperti Makkah, Thaif, Shan’a, Hajar, Yatsrib, Daumatul Jandal, dan sebagainya. Islam melarang kebiasaan semacam ini melalui turunnya surat Al-Maidah ayat 90,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.
(Q.s. Al-Maidah: 90)
b.        Menenggak khamr dan berkumpul-kumpul untuk minum khamr bersama, bangga karenanya, serta memahalkan harganya. Ini merupakan kebiasaan orang-orang kota dari kalangan hartawan, pembesar, dan pujangga sastra. Ketika kebiasaan ini mengakar kuat di tengah mereka dan bertakhta di hati mereka, Allah mengharamkannya secara perlahan-lahan, setahap demi setahap. Ini merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya. Karenanya, bagi-Nya segala puji dan segala kebaikan.
c.         Nikah istibdha’. Jika istri dari salah seorang lelaki di antara mereka selesai haid kemudian telah bersuci maka lelaki termulia serta paling bagus nasab dan tata kramanya di antara mereka boleh meminta wanita tersebut. Tujuannya, agar sang wanita bisa disetubuhi dalam kurun waktu yang memungkinkannya melahirkan anak yang mewarisi sifat-sifat kesempurnaan si lelaki yang menyetubuhinya tadi.
d.        Mengubur hidup-hidup anak perempuan. Seorang laki-laki mengubur anak perempuannya secara hidup-hidup ke dalam tanah, selepas kelahirannya, karena takut mendapat aib. Dalam Alquran Alkarim terdapat penentangan terhadap perilaku semacam ini serta penjelasan tentang betapa kejinya perilaku ini. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya celaan keras terhadap pelakunya pada hari kiamat. Allah Ta’ala berfirma dalam surat At-Takwir,
وَإِذَا الْمَوْؤُودَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنبٍ قُتِلَتْ
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (Q.s. At-Takwir: 8—9).
e.         Membunuh anak-anak, baik lelaki maupun perempuan. Kekejian ini mereka lakukan karena takut miskin dan takut lapar, atau mereka sudah putus harapan atas bencana kemiskinan parah yang melanda, bersamaan dengan lahirnya si anak di wilayah yang merasakan dampak kemiskinan tersebut. Kondisi ini terjadi karena tanah sedang begitu tandus dan hujan tak kunjung turun. Setelah Islam datang, Islam mengharamkan adat keji nan buruk seperti ini, melalui turunnya firman Allah Ta’ala,
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.”
(Q.s. Al-An’am: 151)
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.” (Q.s. Al-Isra’:31)
Yang dimaksud dengan “imlaq” adalah kemiskinan yang begitu parah serta begitu memprihatinkan.
f.         Wanita berdandan ketika keluar rumah, dengan tujuan menampakkan kecantikannya, pada saat dia lewat di depan lelaki ajnabi (lelaki yang bukan mahramnya). Jalannya genit, berlemah gemulai, seakan-akan dia memamerkan dirinya dan ingin memikat orang lain.
g.        Wanita merdeka menjadi teman dekat lelaki. Mereka menjalin hubungan gelap dan saling berbalas cinta secara sembunyi-bunyi. Padahal si lelaki bukanlah mahram si wanita. Kemudian Islam mengharamkan hubungan semacam ini, dengan diturunkannya firman Allah Ta’ala,
وَلاَ مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ
… Dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya ….”. (Q.s. An-Nisa’: 25).
Padahal si wanita bukanlah mahram si lelaki. Kemudian Islam mengharamkan hubungan semacam ini,
وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
… Dan tidak (pula lelaki) yang memiliki gundik-gundik ….”.(Q.s. Al-Maidah: 5)
h.        Menjajakan para budak perempuan sebagai pelacur. Di depan pintu rumah si budak perempuan akan dipasang bendera merah, supaya orang-orang tahu bahwa dia adalah pelacur dan para lelaki akan mendatanginya. Dengan begitu, budak perempuan tersebut akan menerima upah berupa harta yang sebanding dengan pelacuran yang telah dilakukannya.
i.          Fanatisme golongan. Islam datang memerintahkan seseorang menolong saudaranya sesama muslim, dekat maupun jauh, karena “al-akh” (saudara) yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah saudara seislam. Oleh sebab itu, pertolongan kepadanya –jika dia dizalimi– adalah dengan menghapuskan kezaliman yang menimpanya. Adapun pertolongan yang diberikan kepadanya kala dia berbuat zalim berupa tindakan melarang dan mencegahnya agar tak berbuat zalim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (dalam riwayat Bukhari),
انصر أخاك ظالما أو مظلوما. فقيل: يا رسول الله أنصنره إذا كان مظلوما فكيف أنصره إذا كان ظالما؟ قال: تحجزه عن الظلم.
Tolonglah saudaramu, baik dia menzalimi ataupun dizalimi.” Kemudian ada yang mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami akan menolongnya (saudara kami) jika dia dizalimi, maka bagiamana cara kami akan menolongnya jika dia menzalimi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau mencegahnya supaya tak berbuat zalim.”
j.          Saling menyerang dan memerangi satu sama lain, untuk merebut dan merampas harta. Suku yang kuat memerangi suku yang lemah untuk merampas hartanya. Yang demikian ini terjadi karena tidak ada hukum maupun peraturan yang menjadi acuan pada mayoritas waktu di sebagian besar negeri. Di antara perperangan mereka yang paling terkenal adalah:- Perang Dahis dan Perang Ghabara’ yang berlangsung antara Suku ‘Abs melawan Suku Dzibyan dan Fizarah;- Perang Basus, sampai-sampai dikatakan, “Perang yang paling membuat sial adalah Perang Basus yang berlangsung sepanjang tahun. Perang ini terjadi antara Suku Bakr dan Taghlub;”- Perang Bu’ats yang terjadi antara Suku Aus dan Khazraj di kota Al-Madinah An-Nabawiyyah;- Perang Fijar yang berlangsung antara Qays ‘Ilan melawan Kinanah dan Quraisy. Disebut “Perang Fijar” karena terjadi saat bulan-bulan haram. Fijar (فِجار ) adalah bentukan wazan فَعَّال dari kata fujur (فجور ); Mereka telah sangat mendurhakai Allah (sangat fujur) karena berani berperang pada bulan-bulan yang diharamkan untuk berperang.
k.        Enggan mengerjakan profesi tertentu, karena kesombongan dan keangkuhan. Mereka tidaklah bekerja sebagai pandai besi, penenun, tukang bekam, dan petani. Pekerjaan-pekerjaan semacam itu hanya diperuntukkan bagi budak perempuan dan budak laki-laki mereka. Adapun bagi orang-orang merdeka, profesi mereka terbatas sebagai pedagang, penunggang kuda, pasukan perang, dan pelantun syair. Selain itu, di tengah bangsa Arab jahiliah tumbuh kebiasaan berbangga-bangga dengan kemuliaan leluhur dan jalur keturunan.[4]
3.    Ekonomi dan Perdagangan
Terikat oleh keadaan geografis alam yang tandus kering dan gersang, maka pada umumnya kehidupan orang Arab sebelum Islam bersumber dari kegiatan perdagangan dan peternakan, maka terkenallah beberapa kota di Hijaz sebagai pusat perdagangan, seperti Mekkah, Madinah, Yaman dan lain-lainya. Dikota Mekah setahun sekali diadakan keramaian yang ramai dikunjungi orang sekitarnya, sehingga dengan demikian Mekkah tumbuh menjadi kota dagang antar suku bangsa yang terdapat di sekitar Jazirah Arab, disamping itu penduduk yang tinggal dipedesaan umumnya hidup dengan beternak kambing, biri-biri dan unta. Ternak ini sekaligus merupakan bahan makanan bagi mereka. Hewan ternak ini mereka gembalakan dengan jumlahnya amat sedikit dan terbatas di Jazirah Arab. JOleh karena itu kehidupan para pternak selalu berpindah-pindah (nomaden) sesuai dengan lahan tempat mereka, perselisihan atau peperangan antar suku dengan yang lain disebabkan ternak. Mereka saling memperebutkan lahan yang memiliki padang rumput dan air, demi mempetahankan kehidupan.
4.    Politik dan Pemerintahan
Bangsa Arab sebelum Islam tidak pernah dijajah oleh bangsa asing, bahkan tidak pernah tercipta kesatuan politik di seluruh Jazirah Arab. Kerjaan–kerajaan kecil yang terdapat di Jazirah Arab bagian selatan umumnya berdaulat atas wilayah mereka yang sempit dan sebatas masyarakatnya.
Bangsa Arab sebelum islam, hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri. Satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional. Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah pertalian darah. Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya “.
Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin kabilahnya masing-masing. Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi politiknya adalah kesatuan fanatisme, adanya manfaat secara timbal balik untuk menjaga daerah dan menghadang musuh dari luar kabilah.
Kedudukan pemimpin kabilah ditengah kaumnya, seperti halnya seorang raja. Anggota kabilah harus mentaati pendapat atau keputusan pemimpin kabilah. Baik itu seruan damai ataupun perang. Dia mempunyai kewenangan hukum dan otoritas pendapat, seperti layaknya pemimpin dictator yang perkasa. Sehingga adakalanya jika seorang pemimpin murka, sekian ribu mata pedang ikut bicara, tanpa perlu bertanya apa yang membuat pemimpin kabilah itu murka.
Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah system dictator. Banyak hak yang terabaikan. Rakyat bisa diumpamakan sebagai ladang yang harus mendatangkan hasil dan memberikan pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya mengumbar syahwat, bersenang-senang, memenuhi kesenangan dan kesewenangannya. Sedangkan rakyat dengan kebutaan semakin terpuruk dan dilingkupi kezhaliman dari segala sisi. Rakyat hanya bisa merintih dan mengeluh, ditekan dan mendapatkan penyiksaan dengan sikap harus diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikitpun.
Kadang persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin yang memakai sistem keturunan paman kerap membuat mereka bersikap lemah lembut, manis dihadapan orang banyak, seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan, memperlihatkan keberanian, membela diri dari serangan orang lain, hingga tak jarang mereka mencari-cari orang yang siap memberikan sanjungan dan pujian tatkala berada dihadapan orang banyak, terlebih lagi para penyair yang memang menjadi penyambung lidah setiap kabilah pada masa itu, hingga kedudukan para penyair itu sama dengan kedudukan orang-orang yang sedang bersaing mencari simpati.












BAB II
PENUTUP
A.      KESIMPILAN
Secara Etimologis kata Arab berasal dari kata ‘Araba artinya yang berani bergoyang atau mudah berguncang. Bangsa Arab maupun Israel termasuk dalam rumpun bangsa Semit atau Samyah. Nabi Ibrahim dianggap sebagai cikal bakal dari rumpun bangsa itu yang diduga berasal dari Babilonia.
Perkembangan bangsa Arab terbagi kepada tiga kelompok besar,yaitu:
1.      Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit. Seperti Ad, Tsamud, Thasn, Judais, Amlaq dan lain-lainnya.
2.      Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya’rub bin Yasyjub bin Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.
3.      Arab Musta’ribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma’il, yang disebut pula Arab Adnaniyah.
Kehidupan orang-orang Arab sebelum Islam sering disebut dengan kehidupan Jahiliyah. Akan tetapi, Jahiliyah dalam pengertian suatu tata kehidupan yang terlepas dari nilai-nilai ajaran agama, walaupun masyarakatnya menganut agama.
Masyarakat Jahiliyah tidak mempunyai peraturan hidup yang jelas, sebaliknya menurut hawa nafsu semata-mata.

DAFTAR PUSTAKA
‘’Keadaan Bangsa Arab Sebelum Datangnya Rasulullah Saw’’. http://pepenggretongan.blogspot.co.id/2015/01/keadaan-bangsa-arab-sebelum-datangnya.html (Januari 2015).
Rudi Arlan Al-farisi, “Sejarah Arab Pra Islam”, Blog Rudi Arlan Al-farisi. http://spistai.blogspot.co.id/2009/03/sejarah-arab-pra-islam.html (2 Maret 2009).
 “Bangsa Arab Sebelum Islam”. http://arp-rabbani. blogspot.co.id/2011/11/bangsa-arab-sebelum-islam.html  (16 November 2011).




[1] ‘’Keadaan Bangsa Arab Sebelum Datangnya Rasulullah Saw’’. http://pepenggretongan.blogspot.co.id/2015/01/keadaan-bangsa-arab-sebelum-datangnya.html (Januari 2015).
[2] Rudi Arlan Al-farisi, “Sejarah Arab Pra Islam”, Blog Rudi Arlan Al-farisi. http://spistai.blogspot.co.id/2009/03/sejarah-arab-pra-islam.html (2 Maret 2009).

[3]“Bangsa Arab Sebelum Islam”. http://arp-rabbani. blogspot.co.id/2011/11/bangsa-arab-sebelum-islam.html  (16 November 2011)