SEJARAH
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ILMU HADIS
Makalah
Diajukn
untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Ilmu Hadits
Disusun
Oleh :
Ø Nur Rahmi
Ø Rosdiana
Ø Mursalim
Ø Ratnasari
Ø Fadilah Putri Ananda
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat, taufik serta
hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “Sejarah
Perkembangan Ilmu Hadis”. Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas ilmu hadis yang
membahas tentang SejarahPertumbuhan dan Perkembangan Hadis.
Penulis
menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Akhir kata,
tiada gading yang tak retak, demikin dengan makalah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun tetap penulis nantikan
demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
Makassar, November 2014
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada masa permulaan Islam, umat Islam belum
mengenal adanya ulumul hadits atau ilmu hadits. Hal ini mungkin dikarenakan
fokus perhatian umat Islam pada waktu itu masih terpecah antar dakwah, jihad
dan pendalaman Al-Qur’an, sehingga perhatian terhadap hadits walaupun sudah
cukup intens namun belum segencar pada masa-masa berikutnya.
Sepeninggalnya nabi, terutama setelah
bermunculan hadits-hadits palsu barulah perhatian umat Islam terhadap hadist
nabi meningkat pesat. Ini ditandai dengan munculnya beberapa ulama yang mulai
melakukan penghimpunan hadits serta mulai merintis ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan hadits. Ilmu ini kemudian terus berkembang dari masa ke masa sampai
zaman sekarang.
B.
Rumusan Masalah
a.
Apa
pengertian Ilmu Hadits?
b.
Bagaimana
perkembangan Ilmu Hadits?
c.
Apa saja
cabang-cabang Ilmu Hadits?
C. Tujuan Penulian
Ada dua tujuan kami menulis makalah ini, yang
pertama yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hadits, yang kedua yaitu
untuk menambah pengetahuan dan pemahaman kita semua tentang Ilmu Hadits dan
sejarah perkembangan Ilmu Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu Hadis
Ilmu hadits (Ulum al-Hadits), secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang
hadits. Secara etimologis, seperti yang telah diungkapkan oleh As-Suyuti, ilmu
hadits adalah
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ
كَيْفِيَةِ إِتِّصَالِ اْلحَدِيْثِ بِرَسُوْلِ اللهِ ص. م. مِنْ حَيْثُ أَحْوَالِ رِوَاتِهِ ضَبْطًا وَعَدَالَةً وَمِنْ
حَيْثُ كَيْفِيَّةِ السَّنَدِ اِتِّصَالاً وَانْقَطَا عًا وَغَيْرِ ذلِكَ.
“Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara
persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW, dari segi hal ikhwal para rawinya,
yang menyangkut kedhobitan dan keadilannya dan dari bersambung dan terputusnya
sanad dan sebagainya.
Sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian
Muhadditsin mulai merintis ilmu ini dalam garis-garis besarnya saja dan masih
berserakan dalam beberapa mushafnya. Diantara mereka adalah Ali bin Almadani
(238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmudzi dan lain-lain.
Adapun
perintis pertama yang menyusun ilmu ini secara spesialis dalam satu kitab
khusus ialah Al-Qandi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy (360 H) yang diberi nama
dengan Al-Muhaddisul Fasil Bainar Wari Was Sami’. Kemudian bangkitlah Al-Hakim
Abu Abdilah an-Naisaburi (321-405 H) menyusun kitabnya yang bernama Makrifatu
Ulumil Hadits. Usaha beliau ini diikuti oleh Abu Nadim al-Asfahani (336-430 H) yang menyusun kitab
kaidah periwayatan hadits yang diberi nama Al-Kifayah dan Al-Jam’u Liadabis
Syaikhi Was Sami’ yang berisi tentang tata cara meriwayatkan hadits.
B.
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu
Hadits
Ilmu ini pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman
Nabi SAW masih hidup. Akan tetapi ilmu ini terasa diperlukan setelah Nabi SAW
wafat, terutama sekali ketika umat Islam memulai upaya mengumpulkan hadits dan
mengadakan perlawatan yang mereka lakukan, sudah barang tentu secara langsung
atau tidak,memerlukan kaidah-kaidah guna menyeleksi periwayatan hadits. Pada
perkembangan berikutnya kaidah-kaidah itu semakin disempurnakan oleh para ulama
yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan
diri dalam mempelajari bidang hadits, maupun bidang-bidang lainnya, sehingga
menjadi satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Uraian berikut akan menitkberatkan sejarah
pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadits menjadi beberapa periodesasi yaitu
awal lahirnya ilmu hadits sampai pada masa sekarang.
a.
Periode Pertama (Zaman Rasul)
Pada masa ini, para sahabat bergaul dan
berinteraksi langsung dengan Nabi, sehingga setiap permasalahan atau hukum
dapat ditanyakan langsung kepada Nabi. Para sahabat lebih fokus dengan
menghapal dan mempelajari Al-Qur’an. Rasul pada masa itu secara umum melarang
menuliskan hadits karena takut tercampur baur dengan ayat Al-Qur’an karena
wahyu sedang / masih diturunkan.
Secara umum sahabat masih banyak yang buta
huruf sehingga tidak menuliskan hadits, mereka meriwayatkan hadits mengandalkan
hafalan secara lisan. Sebagian kecil sahabat –yang pandai baca tulis-
menuliskan hadits seperti: Abdullah Bin Amr Bin Ash yang mempunyai catatan
hadits dan dikenal sebagai “Shahifah Ash Shadiqah” juga Jabir Bin Abdullah Al
Anshary mempunyai catatan hadits yang dikenal sebagai “Shahifah Jabir”. Pada
event tertentu orang Arab badui ingin fatwa Nabi dituliskan, maka Nabi
meluluskan permintaannya untuk menuliskan haditsnya.
b.
Periode Kedua (Masa Kulafaur Rasyidin)
Sebagian sahabat tersebar keluar jazirah Arab
karena ikut serta dalam jihad penaklukan ke daerah Syam, Iraq, Mesir, Persia.
Pada daerah taklukan yang baru masuk Islam, Khalifah Umar menekankan agar
mengajarkan Al-Qur’an terlebih dahulu kepada mereka. Khalifah Abu Bakar meminta
kesaksian minimal satu orang bila ada yang meriwayatkan hadits kepadanya.
Khalifah Ali meminta bersumpah orang yang meriwayatkan hadits. Khalifah Umar
melarang sahabat besar keluar dari kota Madinah dan melarang memperbanyak
periwayatan hadits. Setelah Khalifah Umar wafat, sahabat besar keluar kota
Madinah tersebar kedaerah taklukkan untuk mengajarkan agama.
c.
Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
Besar)
Para sahabat besar telah terpencar keluar dari
Madinah. Jabir pergi ke Syam menanyakan hadits kepada sahabat Abdullah Bin
Unais Al Anshary. Abu Ayyub Al Anshary pergi ke Mesir menemui sahabat Utbah Bin
Amir untuk menanyakan hadits. Masa ini sahabat besar tidak lagi membatasi diri
dalam periwayatan hadits, yang banyak meriwayatkan hadits antara lain :
1.
Abu
Hurairah (5347 hadits)
2.
Abdullah
Bin Umar (2360 hadits)
3.
Anas Bin
Malik (2236 hadits)
4.
Aisyah,
Ummul Mukminin (2210 hadits)
5.
Abdullah
Bin Abbas (1660 hadits)
6.
Jabir
Bin Abdullah (1540 hadits)
7.
Abu
Sa’id Al Kudri (1170 hadits)
8.
Ibnu
Mas’ud
9.
Abdullah
Bin Amr Bin Ash
Setelah Khalifah Ali terbunuh, muncul sekte
Syiah yang mendukung Ali dan keturunannya sementara kelompok jumhur (mayoritas)
tetap mengakui pemerintahan Bani Umayah. Sejak saat itu mulai bermunculan
hadits palsu yang bertujuan mendukung masing-masing kelompoknya. Kelompok yang
terbanyak membuat hadits palsu adalah Syiah Rafidah.
d.
Periode Keempat (Masa Pembukuan Hadits)
Pada waktu Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8
Bani Umayyah) yang naik tahta pada tahun 99 H berkuasa, beliau dikenal sebagai
orang yang adil dan wara’, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits dengan
motif :
1.
Beliau
khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.
2.
Kemauan
beliau untuk menyaring hadits palsu yang sudah mulai banyak beredar.
3.
Al-Qur’an
sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran
tercampur dengan hadits bila hadits
dibukukan.
4.
Peperangan
dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan antar sesama
kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena wafat
dalam peperangan-peperangan tersebut.
Khalifah Umar menginstruksikan kepada Gubernur
Madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin ‘Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpulkan
hadits yang ada padanya dan pada tabi’in wanita ‘Amrah Binti ‘Abdur Rahman Bin
Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades, murid Aisyah-Ummul Mukminin.
Berdasarkan instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu
Hazm minta bantuan dan menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim
Bin Ubaidillah Bin Syihab az Zuhry (Ibnu Syihab Az Zuhry) seorang ulama besar
dan mufti Hijaz dan Syam untuk turut membukukan hadits Rasulullah SAW.
Setelah itu penulisan hadits pun marak dan
dilakukan oleh banyak ulama abad ke-2 H, yang terkenal diantaranya :
1.
Al-Muwaththa’,
karya Imam Malik Bin Anas (95 H – 179 H).
2.
Al
Masghazy wal Siyar, hadits sirah nabawiyah karya Muhammad Ibn Ishaq (150 H).
3.
Al
Mushannaf, karya Sufyan Ibn ‘Uyainah (198 H).
4.
Al
Musnad, karya imam Abu Hanifah (150 H).
5.
Al
Musnad, karya imam Syafi’i (204 H).
e.
Periode Kelima (Masa Kodefikasi Hadits)
1.
Periode
penyaringan hadits dari fatwa para sahabat (abad ke-III H)
a.
Menyaring
hadits nabi dari fatwa-fatwa sahabat Nabi.
b.
Masih
tercampur baur hadits sahih, dhaif dan maudlu’ (palsu).
c.
Pertengahan
abad tiga baru disusun kaidah-kaidah penelitihan kesahihan hadits.
d.
Penyaringan
hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq Bin Rahawaih (guru Imam Bukhari).
e.
Penyempurnaan
kodifikasi ilmu hadits dan kaidah-kaidah pen sahihan suatu hadits.
f.
Penyusunan
kitab Sahih Bukhori.
g.
Penyusunan
enam kitab induk hadits (kutubus sittah), yaitu kitab-kitab hadits yang diakui
oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab hadits yang paling tinggi mutunya,
sebagian masih mengandung hadits dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya
dan dhaifnya pun yang tidak keterlaluan dhaifnya, ke enam kuttubus shittah itu
adalah :
1)
Sahih
Bukhori
2)
Sahih
Muslim
3)
Sunan
Abu Dawud
4)
Sunan An
Nasa’i
5)
Sunan
At-Turmudzy
6)
Sunan
Ibnu Majah
2.
Periode
menghafal dan mengisnadkan hadits (abad ke-IV H).
a.
Para
ulama hadits berlomba-lomba menghafalkan hadits yang sudah tersusun pada
kitab-kitab hadits.
b.
Para
ulama hadits mengadakan penelitian hadits-hadits yang tercantum pada
kitab-kitab hadits.
c.
Ulama
hadits menyusun kitab-kitab hadits yang bukan termasuk kuttubus shittah.
3.
Periode Klasifikasi
dan Sistimasi Susunan Kitab-Kitab Hadits (abad ke-V H s.d 656 H, jatuhnya
Baghdad).
a.
Mengklasifikasikan
hadits dan menghimpun hadits-hadits yang sejenis.
b.
Menguraikan
dengan luas (mensyarah) kitab-kitab hadits.
c.
Memberikan
komentar (takhrij) kitab-kitab hadits.
d.
Meringkas
(ikhtisar) kitab-kitab hadits.
e.
Menciptakan
kamus hadits.
f.
Mengumpulkan
(jami’) hadits-hadits bukhori-Muslim.
g.
Mengumpulkan
hadits targhib dan tarhib.
h.
Menyusun
kitab athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagian hadits kemudian mengumpulkan
seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa kitab.
i.
Menyusun
kitab istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadits dari sahih Bukhori Muslim
umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad
Bukhari atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri.
j.
Menyusun
kitab istidrak, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat
Bukhari dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak
diriwayatkan atau di sahihkan oleh keduanya.
f. Periode
Keenam (dari tahun 656 H sampai sekarang)
Mulai dari jatuhnya Baghdad oleh Hulagu Khan
dari Mongol tahun 656 H – sekarang ini.
1.
Menertibkan,
menyaring dan menyusun kitab kitab takhrij.
2.
Membuat
kitab-kitab jami’.
3.
Menyusun
kitab-kitab athraf.
4.
Menyusun
kitab-kitab zawaid, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam
kitab-kitab yang sebelumnya kedalam sebuah kitab yang tertentu.
Kitab takhrij ialah kitab hadis yang metode pengumpulan hadisnya
dengan cara mengambil hadis dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan
sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadis tersebut. Kitab athraf ialah kitab hadis yang hanya
memuat sebagian matas hadis, tetapi
C.
Cabang-Cabang Ilmu Hadits
Secara garis besarnya, ilmu hadits terbagi dua,
yaitu:
a.
Ilmu Dirayatul Hadits
Menurut sebagian ulama Tahqiq, Ilmu Dirayatul
Hadits adalah ilmu yang membahas cara kelakuan persambungan hadits kepada nabi
Muhammad SAW dari sikap perawinya, mengenai kekuatan hafalan dan keadilan
mereka, dan dari segi keadaan sanad, putus dan bersambungnya, serta yang
sepertinya.
Adapun obyek Ilmu Hadits Dirayah ialah meneliti
kelakuan para rawi dan keadaan marwinya (sanad dan matannya). Dari aspek
sanadnya, diteliti tentang ke'adilan dan kecacatannya, bagaimana mereka menerima
dan menyampaikan haditsnya serta sanadnya bersambung atau tidak. Sedang dari
aspek matannya diteliti tentang kejanggalan atau tidaknya, sehubungan dengan
adanya nash-nash lain yang berkaitan dengannya.
b.
Ilmu Riwayatul Hadits
Ilmu Riwayatul Hadits ialah ilmu yang memuat
segala penukilan yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, kehendak, taqrir ataupun berupa sifatnya.
Adapun yang menjadi obyek Ilmu Hadits Riwayah,
ialah membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan pada orang lain dan
memindahkan atau membukukan dalam suatu Kitab Hadits. Dalam menyampaikan dan
membukukan Hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai
matan maupun sanadnya.
Kegunaan mempelajari ilmu ini adalah untuk
menghindari adanya kemungkinan yang salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad
Saw. Sebab berita yang beredar pada umat Islam bisa jadi bukan hadits,
melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi, atau
bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.
Dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah di atas
kemudian berkembang pula beberapa cabang ilmu, yakni:
a. Ilmu
Rijalul Hadits
Ialah ilmu yang membahas para perawi hadits,
dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya. dengan ilmu ini
kita dapat mengetahui, keadaan para perawi yang menerima hadits dari Rasulullah
dan keadaan perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya.
Dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari
riwayat hidup para perawi, madzhab yang dipegangi oleh para perawi dan
keadaan-keadaan para perawi itu saat menerima hadits.
b.
Ilmu Jarhi wat Ta’dil
Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat
yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil
para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat kata-kata
itu. Ilmu Jarhi wat Ta’dil dibutuhkan oleh para ulama hadits karena dengan ilmu
ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar yang datang dari Nabi dan
mana yang bukan.
c. Ilmu
Fannil Mubhammat
Ilmu fannil Mubhamat adalah ilmu untuk mengetahui
nama orang-orang yang tidak disebut dalam matan, atau di dalam sanad.
Di antara yang menyusun kitab ini, Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al Khatibitu diringkas dan dibersihkan
oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat Ila
Bayani Asmail Mubhamat.
d. Ilmu ‘Ilalil
Hadits
Adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang
tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusakkan hadits. Yakni: menyambung yang munqathi’, merafa’kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits ke dalam
hadits yang lain dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui dapat
merusakkan hadits.
e. Ilmu
Ghoribil Hadits
Yang dimaksudkan dalam ilmu hadits ini adalah
bertujuan menjelaskan suatu hadits yang dalam matannya terdapat lafadz yang
pelik, dan yang susah dipahami karena jarang dipakai, sehingga ilmu ini akan
membantu dalam memahami hadits tersebut.
f. Ilmu
Nasikh wal Mansukh
Adalah ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang
sudah dimansukhkan dan menasikhkannya.
Apabila didapati sesuatu hadits yang maqbul tak ada perlawanan, dinamailah
hadits tersebut muhkam. Dan jika
dilawan oleh hadits yang sederajat, tapi mungkin dikumpulkan dengan tidak sukar
maka hadits itu dinamai muhtaliful hadits.
Jika tidak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang
terkemudian itu dinamai nasikhdan
yang terdahulu dinamai mansukh.
g. Talfiqil
hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang cara
mengumpulkan antar hadits yang berlawanan lahirnya. Dikumpulkan itu ada kalanya
dengan mentahsikhkan yang ‘amm, atau mentaqyidkan yang mutlak,
atau dengan memandang banyak kali terjadi.
h. Ilmu
Tashif wat Tahrif
Yaitu ilmu yang menerangkan tentang
hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).
i.
Ilmu Asbabi Wurudil Hadits
Yaitu ilmu yang membicarakan tentang
sebab-sebab Nabi menuturkan sabda beliau dan waktu beliau menuturkan itu.
j.
Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadits
Yaitu ilmu yang menggabungkan dan memadukan
antara hadits yang zhahirnya bertentangan atau ilmu yang menerangkan ta’wil
hadits yang musykil meskipun tidak bertentangan dengan hadits lain.
Sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian
Muhadditsin mulai merintis ilmu ini dalam garis-garis besarnya saja dan masih
berserakan dalam beberapa mushafnya. Diantara mereka adalah Ali bin Almadani
(238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmudzi dan lain-lain.
Adapun perintis pertama yang menyusun ilmu ini
secara spesialis dalam satu kitab khusus ialah Al-Qandi Abu Muhammad
Ar-Ramahurmuzy (360 H) yang diberi nama dengan Al-Muhaddisul Fasil Bainar Wari
Was Sami’. Kemudian bangkitlah Al-Hakim Abu Abdilah an-Naisaburi (321-405 H)
menyusun kitabnya yang bernama Makrifatu Ulumil Hadits. Usaha beliau ini
diikuti oleh Abu Nadim al-Asfahani (336-430 H) yang menyusun kitab kaidah
periwayatan hadits yang diberi nama Al-Kifayah dan Al-Jam’u Liadabis Syaikhi
Was Sami’ yang berisi tentang tata cara meriwayatkan hadits.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ilmu hadits (Ulum al-Hadits), secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang
hadits. Secara etimologis, seperti yang telah diungkapkan oleh As-Suyuti, ilmu hadits
adalah Ilmu pengetahuan yang
membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW, dari segi
hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut kedhobitan dan keadilannya dan dari
bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya.
Dalam sejarah, perkembangan hadits dibagi dalam beberapa periode,
yaitu; periode pertama (zaman Nabi SAW), periode kedua (masa khulafaurrasidin),
periode ketiga (masa sahabat kecil dan tabi’in besar), periode ke empat (masa pembukuan hadits), periode kelima
(masa kodefikasi hadits) dan periode ke enam (dari tahun 656 H sampai
sekarang).
Secara garis besarnya, ilmu hadits terbagi dua, yaitu; ilmu dirayatul
hadits, yakni ilmu yang membahas cara kelakuan persambungan hadits kepada
junjungan kita nabi Muhammad SAW, dan ilmu riwayatul hadits, yakni ilmu yang
memuat segala penukilan yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, kehendak, taqrir ataupun berupa sifatnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Dhafi. “Makalah Ulumul Hadits”, Blog Dhafi.
http://ukhuwahislah. blogspot.com/2014/03/makalah-ulumul-hadits-pengertian.html
(11 Maret 2014).
Hasan, Nur. “Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits”,
Blog Nur Hasan. http://nurhasan9.blogspot.com/2013/01/sejarah-perkembangan-ilmu-hadits.html
(25 Januari 2013).
Abdain. “Sejarah dan Kodifikasi Hadis”, Blog
Abdain. http://abdain.wordpress.com/2010/01/20/sejarah-dan-kodofikasi-hadis/
good......... :)
ReplyDeleteThank you :)
Delete